Tuesday 29 March 2016

Behaviour Therapy

Terdapat beberapa jenis terapi perilaku yang banyak digunakan orang, yaitu relaksasi, desensitisasi sistematis, pembiasaan operan, modeling, pelatihan asersi, pelatihan aversif, dan biofeedback.

Relaksasi
Ada yang berpendapat bahwa relaksasi adalah bukan termasuk terapi perilaku yang spesifik, karena dalam terapi, latihan relaksasi ini sering pula digunakan sebagai pengantar. Alasannya sangat jelas, yakni kalau melakukan kegiatan macam apapun, seandainya dilakukan dalam kondisi dan situasi yang relaks, maka hasil dan prosesnya akan optimal. Namun, karena menyangkut metode yang sama dengan terapi perilaku, ialah berupa pengaturan terutama gerakan motorik, maka akan lebih tepat untuk menempatkan dalam kelompok Terapi Perilaku.

Tujuannya sudah jelas, bahwa relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan, pertama-tama jasmaniah yang pada akhirnya mengakibatkan mengendurnya ketegangan jiwa. Caranya dapat bersifat respiratoris, yaitu dengan mengatur aktivitas bernafas, atau bersifat otot. Pelatihan relaksasi pernafasan, dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan, ialah tempo/irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam. Ketentuan dalam bernafas, khususnya dengan irama yang tepat, akan menyebabkan otot makin lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuatnya kaku.

Sangat biasa, dan itulah yang banyak dilakukan orang, yakni dalam bentuk penggabungan relaksasi pernafasan dan otot. Caranya adalah dengan mengatur nafas yang kemudian ditambah dan dikombinasikan dengan pengaturan gerakan otot. Jadi,
  1. Pertama – tama mengatur irama dan kedalaman pernafasan sampai pada taraf yang paling membuat pasien merasa nyaman. 
  2. Kemudian otot – otot dilatih menegang dan melemas

Kebanyakan pelatih relaksasi, memulai melemaskan atau menegangkan otot pada bagian tubuh yang terjauh dari jantung. Alasannya adalah agar kalau terjadi kekejangan pada otot karena mulai melatih, maka kekejangan itu tidak pada otot jantung atau yang dekat dengan jantung. Jadi, mulai dari ujung kuku, tungkai kaki, dan seterusnya, serta jari tangan, tangan lengan dan seterusnya.
Desensitisasi Sistematis
Proses teknik penanganan ini umumnya dilandasi oleh prinsip kontrakebiasaan belajar (counter conditioning), terutama dalam rangka menghilangkan kecemasan dan kadang – kadang juga ketakutan. Jenis teknik ini akan lebih baik kalau obyek yang menyebabkan menjadi tegang atau takut, relative jelas. Misalnya, takut pada sesuatu benda (phobia) atau takut kalau harus berpidato di hadapan banyak orang, dengan alasan yang tidak masuk akan, irasional.

teknik terapi ini didasarkan pada desensitisasi, artinya membuat lebih tidak sensitifnya ia terhadap sesuatu hal, keadaan, atau pendapat; dan sistematika, yang berarti memiliki urutan tertentu, secara bertahap. Misalnya, menangani orang/klien yang takut pada binatang tertentu, misalnya ular. Klien diminta untuk memperhatikan gambar ular yang kecil yang ditempatkan pada tempat yang jauh. Kalau klien tidak menunjukkan ketegangan, kecemasan atau ketakutan, gambar itu dikedepankan secara bertahap. Kemudian, gambarnya diperbesar dan dilakukan hal yang sama. Selanjutnya, gambar diganti dengan ular kecil yang tidak berbahaya. Kemudian dengan ular yang besar dan seterusnya.

Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan pada teknik desensitisasi sistematis ini, yakni 
1.      pembuatan program terapi yang dibangun bersama antara klien dan terapis secara tepat,
2.    menentukan obyek yang menakutkan itu. Kalau takut pada singa liar yang lapar, itu wajar, bukan fobia. Ukuran fobia atau tidak, akan tergantung pada pendapat ilmu pengetahuan dan pemahaman umum. Ular sering disebut sebagai obyek fobia, karena menurut ilmu pengetahuan, ular itu secara disebut sebagai obyek fobia, karena menurut ilmu pengetahuan, ular itu secara umum bukanlah binatang buas yang memburu manusia untuk dipatuk. Takut pada kecoa pada kaum wanita pada umumnya, bisa normal, sehingga tidak dapat disebut fobia. Tetapi kalau takutnya berlebihan, maka jadi disebut fobia.

Pembiasaan Operan
Landasan pembiasaan operan adalah aplikasi penguatan negative dan positif (negative and positive reinforcement), respons cost, pembentukan perilaku dengan ancer-ancer suksesif (Shaping by successive approximations), dan pembedaan (Discrimination) atau penyamaan (Generalization).
Penguatan atau reinforcement adalah upaya agar apa yang telah dicapai atau dimiliki dapat dipertahankan atau disebut ditingkatkan (positif). Bisa jadi juga sebaliknya, yaitu dilemahkan atau disebut extinction, bila kebiasaan yang telah relasi terapeutik antara terapis dank lien (Ford, 1978). Penguatan negative dilakukan seandainya terdapat tingkah laku yang tidak diharapkan, misalnya gejala-gejala “tics” atau gagap.

Operan merupakan inisiatif yang dilakukan oleh klien, dalam arti bahwa ia melakukan pemilihan apa yang sebaliknya dilakukan berdasarkan berbagai opsi, yang disediakan.

Respons cost, reposisi penguat positif berkaitan dengan perilaku negative dicontohkan dalam kontrak penanggulangan (Contract Treatment) sering digunakan sebagai insentif bagi klien untuk berpartisipasi secara penuh dalam suatu program terapeutik atau pendidikan. Misalnya, partisipan dalam program pendidikan keterampilan orang tua bisa diminta untuk mengajukan suatu simpanan yang sebanding dengan bayarannya, yang akan dibayarkan kepadanya jika ia telah menyelesaikan seluruh intervensinya. Jika, bagaimanapun, klien gagal datang pada sesi intervensi, suatu bagian dari tabungan akan datang sebagai denda, sebagai biaya. Jika terdapat banyak keterampilan harus dimiliki klien dalam proses intervensinya, cara respons cost ini sering efektif. Misalnya dalam usaha meningkatkan keterampilan sosial.

Pelatihan diskriminasi dan generalisasi terprogram, dicontohkan oleh pendekatan keperilakuan terhadap manajemen strees dan pendidikan kesehatan. Klien pertama – tama dilatih untuk membedakan antara stress/ketegangan dan relaksasi, dalam arti reaksi badan dan perilaku kognitifnya. Diskriminasi dapat dikuatkan dengan pelaksanaan stressnya selama seminggu dan relaksasi dalam pelatihan relaksasi otot progresif.

Modeling
Prinsip teori yang melandasi teknik terapi ini adalah teori mengenai belajar melalui pengamatan (observation learning) atau sering juga disebut belajar sosial (social learning) dari Walter dan Bandura.pada prinsipnya, terapis memperlihatkan model yang tepat untuk membuat klien dapat meniru bagaimana ia seharusnya melakukan upaya menghilangkan perasaan dari pikiran yang tidak seharusnya dari orang lain yang disebut model itu.

Terhadap dua konsep yang berbeda yang digunakan dalam modeling ini, yakni antara coping dan mastery model menampilkan perilaku ideal, contohnya bagaimana menangani ketakutan. Sebaliknya, coping modelpada dasarnya menampilkan bagaimana ia tidak merasa takut untuk menghadapi hal yang semula menakutkan.

Pelatihan Asersi
Pelatihan ini makin banyak dikembangkan dan digunakan orang karena untuk dapat membangun kerjasama dan bergaul dengan orang lain diperlukan sikap dan kemampuan asertif. Kemampuan asertif ini adalah kemampuan untuk mengekspresikan apa ada dalam diri seseorang secara mandiri dan tegas serta memuaskan, rasional, dan juga tanpa mengagrasi maupun mengikuti orang lain. Saat ini banyak orang yang mengalami kesukaran dalam mengambil inisiatif yang positif maupun negative, berpendirian, dengan aturan – aturan yang masuk akal, menolak, permintaan yang tidak masuk akal.

Assertion Training (AT) digunakan untuk menanggulangi gangguan obsesif kompulsif, alkoholisme, penyimpangan seksual, cemas saat berpacaran, perilaku agrasif dan eksplosif, dan kelemahan keterampilan sosial. Secara tipikal, perlaksanaan AT melibatkan teknik – teknik keperilakuan sebagai berikut:


Sharing by successive approximations. Teknik ini mungkin merupakan metode yang paling fundamental, melibatkan provisi penguatan positif kepada klien sebagai pembelajaran untuk menampilkan perilaku asertif terus menerus. Caranya adalah seperti keterampilan desensitasi, dimana dibuat suatu urutan bertingkat (hirakhi) dari perilaku yang hanya sedikit nilai asertifnya sampai yang dinilai sangat asertif.

Yang lebih spesifik antara lain adalah: Modelling, dimana klien mencontoh perilaku asertif yang efektif; kemudian latihan berperilaku (behavior rehearsal), di mana klien berlatih melakukan tindakan – tindakan dalam situasi yang tidak mengancam. Selanjutnya juga coaching, di mana terapis melatih klien untuk melakukan tindakan – tindakan asertif. Selanjutnya juga pemberian umpan balik (feed back), dimana terapis menyediakan penguat dan saran – saran ketika klien berada dalam situasi pelatihan ; dan pemberian instruksi videotape. Dari penelitian – penelitian disimpulkan bahwa yang paling efektif adalah kombinasi dari teknik-teknik tersebut.


Biofeedback
Teknik ini merupakan teknik yang digunakan untuk pembiasaan perilaku otomatis manusia. Paradigma umum penanggulangan biofeedback melibatkan penggunaan peralatan perekam yang secara terus menerus memantau respons – respons fisik subyek dan tampilan respons itu kepada subyek. Misalnya peralatan mencatat detak jantung atau tegangan otot subyek, dan subyek dapat mengamati dan menerima umpan balik.


Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Edisi revisi. Prof. Dr. SUTARDJO A. WIRAMIHARDJA, Psi.  (Hal. 132 – 136).


Client Centered Therapy

 Pandangan Client center Therapy tentang Sifat Manusia
Client Center Therapy memandang manusia secara positif. Manusia memiliki suatu kecenderungan kearah menjadi berfungsi penuh, dalam proses terapi ini klien memiliki tanggung jawab utama untuk menuju keadaan psikologis yang sehat.

   Konsep pokok Client Center Therapy
  Organism.
Pengertian organism mencakup tiga hal:
·   Makhluk hidup : organism adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologiknya.
·    Realitas subyektif : organism menanggapi dirinya seperti yang diamati atau dialaminya.
·         Holisme : organism adalah suatu kesatuan system, sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain.

     Medan Fenomena
Medan Fenomena yaitu keseluruhan pengalaman yang memiliki sifat disadari dan tak disadari, tergantung apakah pengalaman yang mendasari dari medan phenomenal tersebut

Self
Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self, sehingga dapat dikatakan self merupakan satu-satunya struktur kepribadian yang sebenarnya. Beberapa penjelasan mengenai self dapat disimpulkan:
·         Self terbentuk melalui difernsiasi medan fenomena.
·  Self juga terbentuk melalui introjeksi nilai-nilai orang tertentu(significant person) dan dari distorsi pengalaman
·         Self bersifat integral dan konsisten
·         Pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self dianggap sebagai ancaman.
·         Self dapat berubah sebagai akibat kematangan biologikdan belajar.

Ciri-Ciri Pendekatan Client Center :
Ciri-ciri pendekatan Client-Centered adalah sebagai berikut:
1.     Pendekatan client-centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Dimana ia sebagai orang yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas untuk dirinya sendiri.
2.    Pendekatan ini menekankann pada dunia fenomenal klien. Dengan empati dan usaha yang cermat untuk memahamin klien, terapis memberikan perhatian terutama pada persepsi diri klien dan persepsi klien terhadap dunia.
3.    Prinsip-prinsip psikoterapi yang sama diterapkan pada semua orang. diterapkan pada individu yang taraf fungsi psikologisnya relatif normal maupun yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar.
4.    Ada sikap tertentu terapis yang membentuk kondisi yang diperlukan dan memadai bagi keefektifan terapeutik bagi klien yaitu ketulusan, kehangatan, penerimaan yang nonposesif, dan empati yang akurat.
5.    Terapi client-centered bukan merupakan suatu teknik maupun dogma. Terapi ini adalah suatu cara dan perjalanan bersama antara terapis dan klien dalam berpartisipasi secara manusiawi dalam pengalaman pertumbuhan.

Tujuan Client Center Therapy
Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh, yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. Tidak ditetapkan tujuan secara khusus dalam, sebab terapis digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada klien untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri. Secara lebih terperinci, tujuan client center therapy adalah:
  •     Terbuka pada pengalaman, yaitu membantu klien untuk membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru.
  • Percaya pada diri sendiri, yaitu menumbuhkan kepercayaan diri klien
  •  Tempat evaluasi internal, yaitu membantu klien untuk menyadari kenyataan yang terjadi terhadap dirinya dan membantunya membuat keputusan sendiri
  •  Kesediaan untuk menjadi sebuah proses, yaitu membantu klien menyadari bahwa manusia tumbuh dalam suatu proses.


Hubungan Antara Terapis dengan Klien
Rogers merangkum hipotesis dasar client-centered dalam satu kalimat, yaitu : "Jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan sehingga perkembangan pribadi pun akan terjadi" (Rogers, 1961, halm. 73).
Diperlukan sikap-sikap utama terapis client-centered yang kondusif bagi penciptaan iklim psikologis yang layak dimana klien akan mengalami kebebasan untuk memulai perubahan kepbribadian. Menurut Carl Rogers (1967), Ke enam kondisi berikut diperlukan dalam pengubahan kepribadian, yaitu :
  1. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
  2. Orang pertama (disebut dengan klien) ada dalam keadaan tidak selaras dan cemas.
  3.  Orang kedua (disebut dengan terapis) ada dalam keadaan selaras dan terintegrasi dalam berhubungan.
  4. Terapis merasakan perhatian positif yang tak bersyarat terhadap klien.
  5. Terapis merasakan perasaan empatik terhadap permasalahan klien dan berusaha mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada klien.
  6. Menunjukkan perasaan empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada klien dapat dicapai.

Jika keenam kondisi tersebut ada selama beberapa periode, maka perubahan kepribadian yang konstruktif pun akan terjadi.

Fungsi dan Peran Terapis
Peran terapis berakar pada cara-cara keberadaannya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien “berbuat sesuatu”. Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Dengan menghadapi klien pada taraf pribadi ke pribadi, maka peran terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan iklim.
Jadi, terapis client centered membangun hubungan yang membantu di mana klien akan mengalami kebebasan yangdiperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama, terapis harus bersedia menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis menghadapi klien berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien dengan jalan memasuki dunianya alih-alih menurut kategori-kategori diagnostik yang telah dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan pengertian terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang lebih tinggi.

Metode dan teknik-teknik PCT
Teknik-teknik ini menekan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap terapis dalam menerapi. Selain itu, teknik ini mengungkapkan dan pengkomunikasikan penerimaan, respek dan pengertian. Terapis juga berbagi upaya dengan klien untuk mengembangkan acuan internal (tolak ukur) dengan memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi. Teknik-teknik dasar mencakup dalam mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan, menjelaskan dan “hadir” bagi klien.

        Syarat Dasar Teknik Client Center Therapy
·         Self Concept : Merujuk pada bagaimana klien memikirkan-menghargai dirinya.
·         Locus of Evaluation : Merujuk dari sudut pandang klien bagaimana klien menilai dirinya.
·         Experiencing : Proses dimana klien mengubah pola pandangnya, dari yang terbatas dan kaku, menjadi lebih terbuka.

Kasus yang menggunakan Client Cnter Therapy

Seorang remaja bahwa dia sangat sayang pada adiknya, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan dengan pikiran itu, karena ternyata dia sering sekali mengucapkan kata-kata iri kepada adiknya  yang selalu dibela orang tua. Padahal, terhadap adik sendiri seorang kakak tidak boleh bertindak itu. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana remaja mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless).
Remaja ini mau untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup permasalahannya antara dua kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya menemukan dirinya kembali sebagai orang yang pantas (person of worth).
Pada proses terapinya, klien menjadi pusat dari terapi ini di mana terapis lebih membiarkan klien menemukan jalan keluarnya sendiri. Jadi remaja ini di buat mengerti dan paham akan masalah yang sedang dihadapinya dan terapis tidak memaksakan klien untuk menceritakan masalahnya bila klien sedang tidak ingin menceritakannya, klien hanya memberikan pandangan tentang masalah yang sedang dihadapinya sedangkan pilihan dan prosesnya klien yang menentukannya.

Daftar Pustaka
Corey, Gerald. 2010. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama
Suryabrata, Sumadi. 2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers

Thursday 17 March 2016

Psikologi Transpersonal

         Psikologi transpersonal merupakan salah satu kajian khusus dalam psikologi humanistik yang mengintegrasikan konsep psikologi dengan aspek spiritual dari pengalaman manusia. Pengalaman personal dari tiap individu dalam kajian ini berperan sangat penting, sebagai dasar dari konsep psikologi transpersonal itu sendiri agar tidak sekedar menjadi bahasan yang abstrak.

Sejarah 
        Tokoh psikologi humanistik, yaitu Abraham Maslow yang terkenal dengan teori aktualisasi dirinya, pada tahun 1968 menemukan adanya keterbatasan pada model humanistik. Menurutnya, terdapat kemungkinan-kemungkinan dalam diri manusia untuk melampaui aktualisasi diri, dimana individu merasa sebagai bagian dari satu kesatuan yang lebih besar. Oleh karena itu kebutuhan “aktualisasi diri” ini tidak lagi relevan untuk dikatakan sebagai kebutuhan tertinggi dalam hirarki kebutuhannya. Maslow bahkan menjuluki psikologi transpersonal sebagai kekuatan keempat dalam psikologi untuk melengkapi 3 aliran yang telah ada sebelumnya, yaitu psikoanalisis, behavioristik dan humanistik.

          Psikologi transpersonal berpusat pada satu konsep utama, yaitu self transendensi. Self atau aku dalam transendensi merupakan hubungan antara aku dengan alam semesta. Konsep aku menjadi satu dengan ciptaan semesta sehingga bila dianalogikan aku dengan mahkluk hidup yang lainnya merupakan satu jaringan yang saling terkait satu sama lain. Aku ada karena mereka, begitu pula sebaliknya. Tanpa orang-orang di sekitarku, aku tidak akan menjadi “aku” yang sekarang. Jika salah satu dari orang-orang tersebut ada yang terluka, maka aku juga akan ikut merasakan sakitnya. Hal-hal tersebut merupakan pikiran yang akan muncul pada diri individu yang telah mencapai self-transendensi. Pada tahapan ini individu tidak lagi mementingkan ego-nya sendiri, karena ia mengetahui setiap perilaku yang ia ambil akan berkonsekuensi terhadap sekitarnya, bahkan semesta.
       Maslow menemukan bahwa beberapa orang yang mencari aktualisasi diri mengalami pengalaman puncak (peak experience) atau pengalaman transenden, namun ada pula yang tidak mengalaminya. Jadi terdapat dua perbedaan penting antara aktualisasi diri dengan transendensi diri sehingga pada akhirnya memunculkan psikologi transpersonal sebagai kekuatan keempat dalam psikologi yang akan disajikan dalam tabel berikut:

Self-Actualization
Self-Transendensi

Individu yang mencapai kebutuhan tahap ini tidak selalu telah mengalami pengalaman puncak (pengalaman mistik pada individu yang melibatkan perasaan dan sensasi mendalam baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga dapat merubah dirinya secara cukup signifikan).

Individu pernah mengalami pengalaman puncak (pengalaman mistik pada individu yang melibatkan perasaan dan sensasi mendalam baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga dapat merubah dirinya secara cukup signifikan).

Individu berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan minatnya di dunia, seperti kemanusiaan, identitas diri ataupun keinginan-keinginannya sebagai manusia.

Individu berfokus pada kosmos, bahwa dirinya merupakan satu kesatuan dengan semesta dan saling terkait satu sama lain dengan mahkluk hidup lainnya sehingga ego dirinya tidak lagi menjadi hal utama yang harus dipenuhi.
         
 Salah satu tokoh lain yang turut mengembangkan psikologi transpersonal adalah Roberto Assagioli. Beliau adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah transpersonal dalam psikoterapi. Ia memperkenalkan sistem psikosintesis yang mendapatkan pengaruh dari Jung. Psychosyntesis dari Assagioli ( 1971 ) menyajikan sejumlah besar ragam metode therapeutic, di mulai dengan menangani masalah fisik pasien, khususnya gangguan psikosomatik kemudian beralih kepada gangguan psikologisnya, hingga akhirnya mencapai puncaknya pada latihan rohani.

  • Prabowo, Hendro. (2008). Modul Seri Latihan Kesadaran I.  Jakarta.
  • Schneider, K., Bugental, J.F.T, Pierson, J.F. (2001). Handbook of Humanity Psychology. Sage    Publication