Tuesday 17 November 2015

#Softskill Psikologi Manajemen

Review Film "Everest" dan 
Analisis Film berikut Kesimpulan



Disusun Oleh
Kelompok Anggrek :

1) Ahmad Dedy S.                 10513404
2) Aprillia Lentera W.            19513928
3) Gipthasari A. P                  13513745
4) Reynaldo Cesar                17513484
5) Siti Aufaa Ni’matin             18513527
6) Vanya Anugrahayu I.        17512549

        Kelas : 3PA02
Universitas Gunadarma
               2015




 Review Film “Everest” 2015
'Everest' menangkap realitas pendakian puncak setinggi 8.848 meter dengan cara yang impresif secara visual, namun karakterisasi dan drama antarmanusia bukanlah kekuatan utamanya.


“The last words belong to the mountain.”
— Anatoli


Meski tak menyebutkan bahwa film ini diangkat dari buku laris Into Thin Air yang ditulis oleh jurnalis Jon Krakauer, Everest mengambil cerita yang sama, yaitu tragedi Mei 1996 yang menewaskan 8 pendaki. Sementara filmnya sendiri memang memfokuskan pada tragedi ini, namun Everest tak pernah menjadi terlalu melodramatis. 

Bagi sebagian orang, ada sensasi yang berbeda ketika berhasil menginjakan kaki di puncak Everest. Gunung yang mempunyai tinggi 8.848 meter diatas permukaan laut ini menjadi salah satu gunung paling berbahaya di dunia. Namun, hal itu tidak mengurungkan beberapa pendaki untuk menghentikan langkah kakinya agar sampai ke puncak gunung Everest.

Film yang diangkat dari kisah perjalanan Rob Hall (Jason Clarke) beserta pendaki lainnya ini terjadi pada tanggal 10 Mei 1996 silam. Curahan hati para pendaki gunung seakan tertuang di film ini. Film ini sangat serat akan pesan perjuangan dalam mencapai tujuan, meski diterpa berbagai masalah selama perjalanan.

Dari segi visual, film Everest terbilang sangat bagus. Penonton akan disuguhkan pemandangan yang mampu membuat takjub semua mata yang melihatnya. Apalagi film produksi Universal Studio ini juga ditampilkan dalam bentuk 3D yang bisa disaksikan di IMAX. Tak pelak sensasi seperti berada di puncak Everest akan didapat penonton kala menyaksikan film.

Dari segi cerita, film Everest tak banyak menceritakan kisah awal dari para pendaki yang menjadi korban keganasan gunung Everest, justru lebih mengangkat cerita dari Adventure Consultans. Sutradara juga lebih memilih menyajikan film secara tidak berlebihan. Apalagi didukung oleh akting para pemain yang sangat natural.


Dari Review diatas dapat dikaitkan dalam Teori Motivasi.                
  1. Definisi Motivasi
Basuki (2008) motif berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau bahasa inggrisnya to move. motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat didalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat (driving force).

Walgito (dalam Basuki, 2008) motivasi adalah keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan.

Robins dan Judge (2008) motivasi adalah sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya.

Alport (dalam Feist&feist, 2010) motivasi adalah dorongan yang dirasakan dengan kejadian – kejadian yang terjadi di masa lalu.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa. Motivasi adalah kekuatan yang terdapat didalam diri seseorang yang mendorong untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya.


  •  Dalam film Everest ini :

Bahwa para pendaki memiliki motivasi yang lebih untuk menaklukan keganasan gunung everest. Dari teori para tokoh di atas para pendaki everest ini memiliki  kekuatan yang terdapat didalam pribadi setiap orang pendaki sehingga mendorong untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuannya yaitu puncak gunung everest. 

2.      Teori-teori Motivasi
Basuki (2008) membagi teori-teori motivasi berdasarkan dari tiga stimulus yang timbul, sehingga timbul berbagai teori tentang motivasi seperti:

a. Teori dorongan
Teori dorongan mengatakan bahwa perilaku didorong ke arah tujuan oleh kondisi yang mendesak (driving state) dalam diri orang atau binatang. Bila kondisi dorongan internal itu muncul, individu didesak untuk berprilaku dengan cara yang sedemikian rupa sehingga mengurangi intensitas dari kondisi mendesak tersebut.
  
b. Teori insentif
Teori ini memberi tekanan pada perilaku yang dimotivasi oleh insentif, teori insentif lebih merupakan suatu daya tarik atau rangsangan yang datang dari depan. Hal penting dari teori insentif  adalah bahwa individu mengharapkan kenikmatan dengan mencapai apa yang disebut insentif positif dan menghindari apa yang dikenal sebagai insentif negatif. 

c. Teori proses terbalik (opponent-process theory)
Teori motivasi ini sering terdapat pada orang-orang yang senang menyerempet bahaya untuk mendapatkan kenikmatan setelah bebas dari bahaya itu.

d. Teori level optimal
Dalam teori level optimal orang-orang cenderung mencari motivasi misalnya, orang yang terlalu sibuk akan mengalami stres dan kelelahan, dan selanjutnya akan termotivasi untuk melakukan sesuatu guna mengendorkan ketegangan atau stres itu sampai ke level optimal. Begitu pun orang yang terlalu banyak waktu luang sehingga mengalami kebosanan, dan selanjutnya akan mencari kesibukan sampai ke level optimal.

  

 Kesimpulan 
Dalam teori dorongan motivasi yang dikaitkan dalam film Everest tersebut bahwa dapat disimpulkan :
Dari definisi dan  ke-empat teori diatas kami dapat mengambil 2 teori motivasi yaitu teori dorongan dan teori proses terbalik . Di dalam film everest ini bahwa para pendaki memiliki dorongan yang kuat untuk keluar dalam bahaya alam yang ada di gunung everest seperti badai salju.

Bagaimana mereka para pendaki dapat menghadapi medan digunung everest yang berat di dalam film tersebut bagaimana di perlihatkan para pendaki melewati tangga setapak, melewati tebing-tebing terjal dalam keadaan badai salju dan kondisi cuaca yang ekstrem. Didalam pengertian teori proses terbalik yang dijelaskan diatas kami menyimpulkan di dalam film ini bahwa para pendaki tersebut memiliki sebuah kesenangan untuk menyempret bahaya demi sebuah kesenangan yaitu ingin mendaki gunung everest tersebut


Daftar Pustaka

Basuki, M. A. (2008). Psikologi umum. Jakarta: Universitas Gunadarma
Feist, J, & Feist, J. G. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Mc-Graw-Hill Education and Salemba Empat
Robins, P. S, & Judge, A. T. (2008). Perilaku organisasi organizational Behavior. Jakarta: Salemba Empat


No comments:

Post a Comment